Peningkatan Proses Pembelajaran Dan Evaluasi Pembelajaran Era 21 Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Smk

Berikut ini yaitu berkas Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK. Diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Download file format PDF.

 Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad  Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK
Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK

Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK

Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK:

Baca Juga

Dalam rangka mensukseskan penerapan UU No. 23  Tahun 2014 dan Inpres No. 9 Tahun 2016, kecakapan kurun 21 yang dibutuhkan lulusan Sekolah Menengah kejuruan dalam menghadapai tantangan era revolusi industri 4.0 sangat perlu untuk dirumuskan.

Buku ini ditulis dengan tujuan menambah literatur mengenai pentingnya Pembelajaran kurun 21 di Sekolah Menengah kejuruan yang penuh dengan persaingan dan kompleksitas. Sasaran utama dari penulisan buku ini yaitu para guru maupun calon guru, peneliti, maupun akademisi yang berkecimpung dalam kajian pendidikan kurun 21 dan pembelajaran berpikir tingkat tinggi.

Lahirnya buku ini berawal dari hasil kajian penulis wacana sejumlah informasi hasil kajian penemuan pembelajaran dari banyak sekali Sekolah Menengah kejuruan acuan sebagai implementasi dari pembelajaran kurun 21 dan analisis profil faktor pendukung yang spesifik untuk penyelarasan kompetensi yang dibutuhkan dalam pembelajaran kurun 21 yang terkait dengan kurikulum, kompetensi guru, sarana prasarana, dan tata kelola kelembagaan.

Hasil kajian inilah yang kemudian menjadi materi renungan bagi penulis untuk merumuskan kembali wacana bagaimana mengaplikasikan temuan dari sejumlah dokumen tersebut ke dalam satu rancangan pendidikan kurun 21 di Indonesia dan pengimplementasiannya dalam bentuk pengembangan taktik optimalisasi pembelajaran kurun 21 di Sekolah Menengah kejuruan .

Bab I buku ini dibahas wacana Pendahuluan, Bab II dibahas wacana Paradigma Pembelajaran Abad 21, kecakapan Abad 21, dan karakteristik pembelajaran SMK. Bab III memuat Hasil kajian Pembelajaran Abad 21 di Sekolah Menengah kejuruan yang meliputi Kajian wacana profil pembelajaran berdasarkan kelompok standard nasional pendidikan: standari Isi dan standard kelulusan, standar proses dan penilaian, standard pendidik dan tenaga kependidikan, standard sarana prasarana, dan standard pengelolaan. Pada Bab III juga dikupas taktik pembelajaran abd 21 di Sekolah Menengah kejuruan dan model pembelajaran kurun 21 SMK. Bab IV memuat penutup.

Semoga sanggup memperlihatkan sumbangan nyata dalam meningkatkan generasi bangsa yang terampil dan terdidik.

Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Sekolah Menengah kejuruan ini berisi antara lain:

BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORI PEMBELAJARAN ABAD 21
A. Paradigma Pembelajaran Abad 21
B. Kecakapan Abad 21
C. Karakteristik Pembelajaran SMK

BAB III PEMBELAJARAN ABAD 21 DI SMK
A. Profil Pembelajaran kurun 21 di SMK
B. Strategi Optimalisasi Pembelajaran Abad 21 di SMK
C. Model Pembelajaran Sekolah Menengah Kejuruan dengan kecakapan kurun 21

BAB IV PENUTUP

BAB I PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan yang bertujuan mencetak lulusan yang mempunyai keterampilan untuk menangani suatu pekerjaan tertentu. Berdasarkan acara prioritas dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah kejuruan yang mencanangkan tema pembangunan pendidikan jangka panjang 2005-2024, pembangunan Sekolah Menengah kejuruan diarahkan pada peningkatan daya saing internasional sebagai pondasi dalam membangun kemandirian dan daya saing bangsa dalam menghadapai persaingan global. Dalam upaya mewujudkan acara ini, banyak sekali kebijakan telah dicanangkan, antara lain ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 wacana Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dan Inpres Nomor 9 Tahun 2016 wacana Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan dalam rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia, makin menegaskan bahwa Sekolah Menengah kejuruan harus semakin lebih mendekatkan diri dengan kebutuhan dunia kerja. Seiring dengan pertumbuhan dunia perjuangan dan industri di Indonesia, tuntutan akan tenaga terampil lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) semakin meningkat. Oleh lantaran itu, Sekolah Menengah kejuruan perlu membekali peserta didiknya dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dunia perjuangan dan industri.

Dalam konteks membekali lulusan Sekolah Menengah kejuruan biar siap masuk dalam bursa kerja, beberapa indikator kompetensi dalam pembelajaran kurun 21 yang perlu dimunculkan antara lain: 1) literasi era digital (digital age literacy), 2) komunikasi efektif (effective communication), 3) berpikir inventif (inventive thinking), dan 4) produktifitas tinggi (high productivity) (Afandi dan Sajidan, 2017: 29-32). Sekolah Menengah kejuruan sebagai lembaga pendidikan yang berpotensi untuk mempersiapkan SDM yang sanggup terserap oleh dunia kerja, lantaran materi teori dan praktik yang bersifat aplikatif sesuai dengan kebutuhan dunia kerja (Jatmoko, 2013), diharapkan mengelaborasi indikator pembelajaran kurun 21 tersebut dalam proses pembelajaran dan penilaian di kelas. Hal ini sejalan dengan Finlay (2007) yang menyebutkan kepentingan global terhadap Sekolah Menengah kejuruan yang bisa memenuhi tuntutan dunia kerja yang terampil, serta Agrawal (2013) yang menyatakan bahwa Sekolah Menengah kejuruan tidak hanya penting dalam memperlihatkan kesempatan kerja kepada individu tetapi juga membantu dalam meningkatkan produktivitas.

Bertitik tolak dari orientasi pendidikan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka marwah pendidikan senantiasa ditujukan untuk mengembangkan potensi peserta didik biar menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional). Apabila mengacu pada rumusan pendidikan sebagaimana undang-undang di atas tercapai, maka peserta didik diharapkan bisa menghadapi dan memecahkan masalah/problem yang dihadapinya dengan memakai potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, kiprah dan kiprah guru untuk menyediakan lingkungan berguru yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik guna memperoleh pengetahuan dan atribut berpikir tingkat tinggi seyogyanya menjadi inti dalam pembelajaran di kelas (Afandi dan Sajidan, 2017: 3). Kualitas proses dan penilaian pembelajaran yang bermutu sejalan dengan tuntutan kompetensi guru kurun 21, yaitu abjad religius (character religius), karekter nasionalisme (character nasionalism), kreatif dan inovatif, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi dan kolaborasi, dan keterampilan memakai media, teknologi dan informasi (information, media & technology skills)(Afandi &Sajidan, 2017: 58-59).

Ide-ide dasar penguatan pembelajaran kurun 21 dalam pelaksanaan di sekolah sebagaimana disebutkan di atas menemui banyak tantangan. Beberapa hasil kajian dari banyak sekali lembaga internasional seringkali bertolak belakang dengan tuntutan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, sehingga potensi peserta didik tersebut ternyata belum berkembang dengan maksimal. Kajian yang dilakukan oleh PISA-OECD (Programme for International Student Assesment-Organization for Economic Cooperation and Development) Tahun 2009 di mana anak Indonesia dalam bidang sains memperoleh rata-rata skor 383 dengan skor tertinggi yaitu 575 yang diperoleh di Shanghai-Cina dan menempati rangking 61 dari 66 negara yang mengikutinya. The Learning Curve (2014) menjelaskan bahwa “Global index of cognitive skills and educational attainment”, Indonesia berada pada posisi z = - 1.84. Hasil ini menempatkan Indonesia pada rangking terbawah dari 40 negara yang berpartisipasi.

Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan penilaian pembelajaran di Sekolah Menengah kejuruan yaitu faktor pendukung yang spesifik untuk penyelarasan kompetensi yang dibutuhkan dalam pembelajaran kurun 21, yaitu: kurikulum, kompetensi guru, sarana prasarana, dan tata kelola kelembagaan, termasuk kerjasama dengan dunia industri. Sinergi kerjasama tersebut mempunyai kiprah strategis untuk melahirkan generasi millenial Indonesia yang produktif dan berdaya saing global. Langkah adaptasi kurikulum, proses dan penilaian pembelajaran Sekolah Menengah kejuruan sanggup dilakukan melaluipenyempurnaan dan pemantapan dengan model demand-driven, mengubah model supply-driven yang berlangsung selama ini dengan standarisasi mutu. Ciri utama pendidikan dan training vokasi ini mengedepankan pendekatan job-based learning. Desain sekolah dikembangkan berangkat dari kebutuhan dan legalisasi dunia perjuangan dan industri. Analisis kebutuhan itu kemudian dirumuskan ke dalam standar-standar kompetensi disertai dengan jenis sertifikasi dan teknik pengujiannya. Dari standarisasi ini, sekolah mengembangkan kurikulum dan sistem pembelajarannya.Proses standarisasi dan sertifikasi serta penyusunan kurikulum melibatkan pihak-pihak terkait, terutama sinergi sekolah dan industri. Dengan demikian, siswa dididik sesuai dengan kebutuhan dunia perjuangan dan industri. Menilik prospek dunia perjuangan dan industri sektor formal di Indonesia yang relatif bersifat turbulen, dan persaingan tenaga kerja luar negeri yang makin ketat, hal ini diharapkan menjadi lorong yang bisa menyalurkan tenaga kerja ke industri dan dunia perjuangan yang menjadi kawan sekolah dan mengisi pasar tenaga kerja terampil di luar negeri yang relevan. Alternatif lain yaitu pengembangan Sekolah Menengah kejuruan dengan model life-based learning sebagai pendidikan alternatif. Pembelajaran di Sekolah Menengah kejuruan mengedepankan pendekatan berbasis potensi alam kehidupan nyata. Model ini memungkinkan tumbuhnya sekolah-sekolah kreatif sesuai dengan keunggulan potensi wilayah.


BAB II KAJIAN TEORI PEMBELAJARAN ABAD 21
A. Paradigma Pembelajaran Abad 21
Ciri kurun 21 berdasarkan Kemendikbud yaitu tersedianya informasi dimana saja dan kapan saja (informasi), adanya implementasi penggunaan mesin (komputasi), bisa menjangkau segala pekerjaan rutin (otomatisasi) dan bisa dilakukan dari mana saja dan kemana saja (komunikasi). Ditemukan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah terjadi pergeseran pembangunan pendidikan ke arah ICT sebagai salah satu taktik manajemen pendidikan kurun 21 yang di dalamnya meliputi tata keloladan sumber daya insan (Soderstrom, From, Lovqvist, & Tornquist, 2011). Abad ini memerlukan transformasi pendidikan secara menyeluruh sehingga terbangun kualitas guru yang bisa memajukan pengetahuan, pelatihan, ekuitas siswa dan prestasi siswa.

Ciri kurun 21 berdasarkan Hernawan (2006) yaitu meningkatnya interaksi antar warga dunia baik secara eksklusif maupun tidak langsung, semakin banyaknya informasi yang tersedia dan sanggup diperoleh, meluasnya cakrawala intelektual, munculnya arus keterbukaan dan demokkratisasi baik dalam politik maupun ekonomi, memanjangnya jarak budaya antara generasi renta dan generasi muda, meningkatnya kepedulian akan perlunya dijaga keseimbangan dunia, meningkatnya kesadaran akan saling ketergantungan ekonomis, dan mengaburnya batas kedaulatan budaya tertentu lantaran tidak terbendungnya informasi.

Dalam konteks pendidikan yang mengimplementasikan visi pembelajaran kurun 21, UNESCO telah membuat 4 (empat) pilar pendidikan, yaitu: 1) Learning to how(belajar untuk mengetahui), 2) Learning to do(belajar untuk melakukan), 3) Learning to be(belajar untuk mengaktualisasikan diri sebagai individu sanggup berdiri diatas kaki sendiri yang berkepribadian), 4) Learning to live together(belajar untuk hidup bersama). Pendidikan yang membangun kompetensi “partnership 21st Century Learning” yaitu framework pembelajaran kurun 21 yang menuntut peserta didik mempunyai keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan dibidang teknologi, media dan informasi, keterampilan pembelajaran, inovasi, dan keterampilan hidup.

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat pada kurun ini membawa dampak yang sangat signifikan terhadap dunia pendidikan.

Proses peralihan dari kurun industrialisasi ke kurun pengetahuan menuntut setiap bidang dalam kehidupan berubah sangat cepat dan harus sanggup menyesuaikan diri dengan cepat,begitu pula dengan pendidikan,karakteristik umum model pembelajaran kurun pengetahuan berbeda dengan karakteristik pembelajaran kurun industrialisasi. Banyak praktik pendidikan yang dianggap menguntungkan pada kurun industrial, menyerupai berguru fakta, drill dan praktik, kaidah dan mekanisme digantikan berguru dalam konteks dunia nyata, otentik melalui problem dan proyek, inkuiri, discovery, dan invensi dalam praktik kurun pengetahuan.

Pola berguru yang diterapkan pada masa industrialisasi sudah dianggap tidak cocok lagi di kurun pengetahuan, dimana perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berkembang begitu pesat,dan teknologi tersebut merupakan katalis penting untuk gerakan menuju metode berguru di kurun pengetahuan.

Diakui dalam perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan kurun 21, kini memang telah terjadi pergeseran baik ciri maupun model pembelajaran.Inilah yang diantisipasi pada kurikulum 2013. Tabel 2.2 memperlihatkan pergeseran paradigma berguru abad21 yang berdasarkan ciri kurun 21 dan model pembelajaran yang harus dilakukan. Pergeseran paradigma pendidikan kurun 21. Informasi, komputasi, otomasi, dan komunikasi merupakan empat komponen yang disampaikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai ciri dari pendidikan kurun 21 yang mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma dalam pembelajaran. Alih literasi informasi, keterampilan komputer, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses komunikasi serta keterampilan komunikasi menjadi sejumlah keterampilan yang harus dikuasaioleh seorang guru dikala ini. Tema pengembangan kurikulum 2013 sanggup menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan efektif melalui penguatan perilaku (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi.

Perubahan paradigma dari Teacher-as-Director menjadi Teacher-as-Facilitator, Guide, dan Consultant, merupakan hal yang wajar, lantaran sumber berguru dan materi latih tidak hanya mengadalkan dari satu sumber saja. Perkembangan teknologi informasi, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, dimana prinsip kolaborasi, antar komponen; manusia, proses dan teknologi menjadi lebih fleksibel, dengan teknologi ini batasan untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan hampir tidak ada batasan. Perubahan paling fundamental dari teknologi ini ada pada interface yang ramah terhadap pengguna (userfriendly) tidak jauh dari tampilan komputer yang digunakan sehari-hari. Dampak positif dari teknologi ini sanggup juga diterapkan dalam proses pembelajaran, namun harus memakai desain formula atau model pembelajaran yang tepat, biar hasil yang ingin dicapai sanggup sesuai dengan tujuan dari proses pembelajaran di kurun pengetahuan ini.

B. Kecakapan Abad 21
1. Ketrampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking Skills)
a. Definisi Ketrampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking Skills)
Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order thinking Skills/HOTS selain berpikir kreatif (creative thinking), pemecahan duduk kasus (creative thinking), pemecahan duduk kasus (problem solving), dan berpikir reflektif (reflective thinking). John Dewey dalam Fisher (2009) menyebutkan “berpikir kritis” ini sebagai “berpikir reflektif” dan mendefinisikannya sebagai pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya. Glaser (dalam Fisher, 2009:3), mendefinisikan critical thinking skill sebagai suatu perilaku mau berpikir secara mendalam wacana masalah- duduk kasus dan hal- hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang, pengetahuan wacana metodemetode investigasi dan daypikir yang logis, dan semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut.

Critical thinking skill sanggup dikatakan kemampuan sesorang dalam menganalisis suatu gagasan dengan memakai daypikir yang logis. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Yasushi Gotoh (2016), bahwa ketrampilan berpikir kritis merupakan seperangkat keterampilan dan kecenderungan yang memungkinkan seseorang untuk memecahkan duduk kasus secara logis. ketrampilan berpikir kritisjuga sanggup diartikan kemampuan berpikir seseorang dalam mengambil keputusan. Seperti yang diungkapkan Patricia C. Seifert (2010: 197), “Less formal and more skepticaldefinition of critical thinking: deciding what to do and when, where, why, and how to do it.” Hal senada juga diungkapkan Facione, Facione, and Sanchez (2010), “Critical thinking is a process of making reasoned judgments based on the consideration of available evidence, contextual aspects of a situation, and pertinent concepts”.

Berdasarkan pemaparan hebat tersebut, maka sanggup disimpulkan bahwa critical thinking skill yaitu kemampuan untuk berpikir secara logis, reflektif, sistematis, dan produktif yang diaplikasikan dalam membuat pertimbangan dan mengambil keputusan yang baik.

b. Pentingnya Ketrampilan Berpikir Kritis (Critical Thinking Skills)
Keterampilan berpikir merupakan salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan. Kemampuan seseorang dalam berfikir akan besar lengan berkuasa terhdap keberhasilan hidup seseorang lantaran kemampuan berpikir berkaitan dengan apa yang akan dikerjakan. Sanjaya (2008: 219) menyatakan bahwa berguru berpikir menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa pembelajaran berpikirdalam proses pendidikan di sekolah tidak hanya menekankan kepada akumulasi pengetahuan materi pelajaran, akan tetapi yang diutamakan yaitu kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri (self-regulated). Seseorang yang mempunyai critical thinking skill cenderung lebih cepat mengidentifikasi informasi yang relevan, memisahkan informasi yang tidak relevan serta memanfaatkan informasi tersebut untuk mencari solusi duduk kasus atau mengambil keputusan, dan jikalau perlu mencari informasi pendukung yang relevan. Sejalan dengan hasil studi yang dilakukan Johnson (2006), siswa yang mempunyai kemampuan berpikir kritis yang memadai mempunyai kemungkinan besar untuk sanggup mempelajari duduk kasus secara sistematis, menghadapi berjuta tantangan dengan cara terorganisasi, merumuskan pertanyaaninovatif, dan merancang penyelesaian yang dipandang relatif baru. Seseorang perlu mempunyai critical thinking skill dan perlu mempelajarinya, lantaran keterampilan tersebut sangat berkhasiat dan sebagai bekal dalam menghadapi kehidupan kini dan di masa yang akan datang. Dengan critical thinking skill, seseorang bisa berpikir secara rasional dan logis dalam mendapatkan informasi dan sistematis dalam memecahkan permasalahan. Artinya berpikir kritis bisa meningkatkan keterampilan analistik. Selain itu critical thinking skill juga meningkatkan kemampuan seseorang cenderung kreatif. Seseorang yang mempunyai critical thinking skill sanggup memanfaatkan pandangan gres ataupun informasi, dan mencari informasi pemanis yang relevan sehingga sanggup mengevaluasi kemudian memodifikasi untuk menghasilkan pandangan gres yang terbaik. Critical thinking skill juga berfungsi untuk merefleksi atau penilaian diri terhadap keputusan yang sudah diambil.

c. Tantangan Mengembangkan Ketrampilan Berpikir Kritis
Critical thinking skills merupakan salah satu hal yang penting untuk dikembangkan. Berikut beberapa pertimbangan dalam mengembangkan critical thinking skill berdasarkan Tilaar (2011: 19) yaitu (1) Mengembangkan berpikir kritis di dalam pendidikan berarti kita memperlihatkan penghargaan kepada peserta didik sebagai pribadi (respect a person). Hal ini akan memperlihatkan kesempatan kepada perkembangan pribadi peserta didik sepenuhnya lantaran mereka merasa diberikan kesempatan dan dihormati akan hak-haknya dalam perkembangan pribadinya. (2) Berpikir kritis merupakan tujuan yang ideal di dalam pendidikan lantaran mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan kedewasaannya. (3) Perkembangan berpikir kritis dalam proses pendidikan merupakan suatu cita- cita tradisional menyerupai apa yang ingin dicapai melalui pelajaran ilmu-ilmu eksata dan kealaman serta mata pelajaran lainnya yang secara tradisional dianggap sanggup mengembangkan berpikir kritis. (4) Berpikir kritis merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan demokratis. Demokrasi hanya sanggup berkembang apabila warga negaranya sanggup berpikir kritis di dalam masalah- duduk kasus politik, sosial, dan ekonomi. Adapun Ryan (2015), mengajarkan critical thinking skill dengan memperlihatkan kesempatan siswa untuk berperan aktif dengan memperlihatkan pertanyaan dan tantang sehingga siswa termotivasi untuk aktif mengejar rasa ingin tahunya. Senada dengan hal di atas, Bonnie dan Potts (2003),mengemukakan ada tiga buah taktik untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan critical thinking skill, yaitu: (1) Building categories (membuat klasifikasi), (2) finding problem (menemukan masalah), dan (3) enhancing the environment (mengkondusifkan lingkungan). Ciri dari mengajar untuk berpikir kritis meliputi: (1) Meningkatkan interaksi di antara para siswa sebagai pembelajar, (2) dengan mengajukan pertanyaan open-ended, (3) memperlihatkan waktu yang memadai kepada para siswa untuk memperlihatkan refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau masalahmasalah yang diberikan, dan (4) teaching for transfer (mengajar untuk sanggup memakai kemampuan yang gres saja diperoleh terhadap situasi-situasi lain dan terhadap pengalaman sendiri yang para siswa miliki). Dari pemaparan tersebut sanggup disimpulkan bahwa pembelajaran yang sanggup mengembangkan critical thinking skill yaitu pembelajaran yang memakai pendekatan student center dan menerapkan model pembelajaran dimana sintaksnya memperlihatkan kesempatan kepada peserta didik untuk aktif dan enam kamampuan dalam critical thinking skill sanggup muncul dalam diri peserta didik. 4. Indikator Penilaian Critical Thinking Skill Beberapa hebat mengungkapkan terkait indicator dalam critical thinking skill. Menurut Ennis (1995: 4-8), terdapat enam unsur dasar dalam critical thinking skill meliputi (1) Fokus (focus), merupakan hal pertama yang harus dilakukan untuk mengetahui informasi. Untuk fokus terhadap permasalahan,diperlukan pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan dimiliki oleh seseorang akan semakin gampang mengenali informasi. (2) Alasan (reason), yaitu mencari kebenaran dari pernyataan yang akan dikemukakan. Dalam mengemukakan suatu pernyataan harus disertai dengan alasan-alasan yang mendukung pernyataan tersebut. (3) Kesimpulan (Inference), yaitu membuat pernyataan yang disertai dengan alasan yang tepat. Garnison, Anderson, dan Archer (2001) membagi empat keterampilan berpikir kritis, yaitu: (1) trigger event /cepat tanggap terhadap peristiwa, yaitu mengidentifikasi atau mengenali masalah, dilema dari pengalaman seseorang dengan cepat, (2) exploration/eksplorasi, memikirkan pandangan gres personal dan sosial dalam rangka membuat persiapan keputusan, (3) integration/ integrasi, yaitu mengkonstruksi maksud dari gagasan, dan mengintegrasikan informasi relevan yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4) resolution/ mengusulkan, yaitu mengusulkan solusi secara hipotetis, atau menerapkan solusi secara eksklusif kepada isu, dilema, atau duduk kasus serta menguji gagasan dan hipotesis. Facione (2013:8) membagi critical thinking skill terdiri enam kemampuan yaitu interpretation, analysis, inference, evaluation, explanation, dan self-regulation. Interpretasi merupakan kemampuan seseorang dalam memahami dan menggambarkan kembali makna kondisi, informasi atau pesan yang diterimanya. (2) Analisis merupakan mengamati dan menguraikan suatu informasi yang diterima secara detail untuk dikaji lebih lanjut. (3) Inferensi merupakan kemampuan membuat kesimpulan berdasarkan unsurunsur. (4) Evaluasi merupakan melaksanakan penilaian dengan cara mengukur atau membandingkan. (5) Eksplanasi/penjelasan, merupakan kemampuan menerangkan/menjelasakan suatu proses/ informasi/fenomena. (6) Regulasi diri artinya mempunyai kemampuan mengelola diri misal mengamati apa yang ada disekitar kognitif seseorang, komponen yang digunakan dalam memperoleh hasil, terutama dengan menerapkan kecakapan di dalam analisis dan penilaian untuk penilaiannya sendiri.

Tidak hanya dalam menghadapi permasalahan umum di kehidupan, dalam membaca dan menulis pun critical thinking skill juga dibutuhkan. Indikator critical thinking skill dalam membaca berdasarkan Richard dan Linda (2012:30) meliputi (1) Merefleksikan apa yang dibaca. (2) Membedakan antara apa yang mereka lakukan dan tidak mengerti dalam teks. (3) Meringkas secara akurat dan menguraiakan teks yang dibaca dengan katakata sendiri. (4) Memberikan contoh, dari pengalaman mereka dan ide-ide yang ada di dalam teks. (5) Menghubungkan ide-ide inti dalam teks dengan ide-ide lain yang mereka mengerti. (6) Mengambil menginternalisasi pandangan gres tekas yang dibaca dan menerapkan di kehidupan. (7) Memparafrase apa yang mereka baca (misalnya, kalimat demi kalimat). (8) Menjelaskan kalimat secara jelas, akurat dan logis.

Siswa yang mempunyai kemampuan critical thinking skill dalam menulis digunakan sebagai alat penting baik untuk mengkomunikasikan ide-ide penting. Mereka memakai keterampilan menulis untuk memperdalam pemahaman mereka wacana konsep-konsep penting dan untuk memperjelas antar korelasi antara konsepkonsep. Dalam menulis, mereka bisa harus terperinci dan akurat menganalisis dan mengevaluasi ide-ide dalam teks dan pemikiran mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka memakai menulis sebagai alat penting untuk berguru ide-ide mendalam dan permanen Richard dan Linda (2012:30). Indikatornya meliputi: (1) Merefleksikan apa yang mereka tulis. (2) Memantau apa yang mereka tulis menulis dan membedakan antara apa yang mereka lakukan dan tidak mengerti dalam teks. (3) Meringkas secara akurat apa yang mereka membaca teks atau yang didengar. (4) Memberikan pola daripengalaman mereka ketika mereka menulis pola ide-ide penting. (5) Menghubungkan ide-ide inti ide-ide inti lain secara eksplisit dikala mereka menulis. (6) Menuliskan wacana ide-ide yang berlaku untuk kehidupan mereka. (7) Menunjukkan kemampuan untuk eksplikasi menulis suatu pengembangan atau membenarkan teori. Menunjukkan kemampuan untuk terperinci dan akurat menganalisis secara terperinci dan akurat, dalammenulis, nalar dari konsep-konsep dalam teks, potongan atau studi akademis.Menggunakan standar intelektual yang universal dalam goresan pena mereka,secara rutin menyidik goresan pena mereka untuk kejelasan, akurasi, presisi, relevansi,kedalaman, luasnya, logika, makna, dan keadilan.

2. Ketrampilan Komunikasi
Memasuki era digital, komunikasi yang kerap dilakukan melalui media sosial dengan memanfaatkan gawai dan internet. Kemajuan teknologi berdampak cukup besar bagi pola komunikasi dikala ini. Kemajuan teknologi di bidang komunikasi mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya,masyarakat lebih efisien untuk mengirim pesan, lebih gampang menemukan sumber informasi terkini, dan lebih mudah untuk membentuk suatu komunitas (Ferguson, 2015 hlm. 1). Namun, sisi negatif dari kemajuan teknologi juga tidak sanggup dihindari oleh masyarakat. Teknologi memudahkan masyarakat berkomunikasi dengan orang terjauh akan tetapi menjauhkan komunikasi dengan orang terdekat. Sisi negatif tersebut marak dijumpai dalam situasi dikala ini. Orang renta yang tidak menyadari kehadiran anak ketika di rumah, anak yang lebih bahagia memainkan gawai daripada bermain dengan teman sebaya, atau perkumpulan individu yang sibuk dengan urusan masing-masing (Wu, Fowler, Lam, Wong, Wong, & Loke, 2014). Makna komunikasi sudah berganti sejalan dengan perubahan teknologi yang semakin pesat. Melihat perubahan pola komunikasi yang demikian maka penulis sanggup mengindikasikan jikalau teknologi memegang kendali penuh dalam kehidupan individu. Padahal seyogyanya individu yang mengendalikan teknologi.

Keterampilan komunikasi yang rendah akan memicu permasalahan gres yang cukup kompleks atau memunculkan banyak miskomunikasi (Ahmetoglu & Acar, 2016 hlm. 190). Weaver & Pier (2011) menunjukan bahwa memasuki kurun 21yang sarat teknologi tidak mengakibatkan siswa lebih kreatif dan berdayasaing akan tetapi melemahkan keterampilan komunikasi siswa. Penelitian Weaver & Pier diperkuat oleh survey yang dilakukan NACE (National Association of Colleges and Employeers) pada tahun 2017 mengindikasikan bahwa sebanyak 67,5% siswa mempunyai keterampilan komunikasi yang rendah. Rendahnya keterampilan komunikasi sanggup berpengaruhpada kemampuan memproses informasi, kesulitan mengintegrasikan pikiran dan ucapan, dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan (Wood & Hartshorne, 2017 hlm. 1). Keterampilan komunikasi menjadi salah satu keterampilan yang perlu dikuasai oleh siswa. Keterampilan komunikasi berperan sebagai kunci untuk menghadapi perubahan paradigma kehidupan di kurun 21 selain keterampilan berkolaborasi, berpikir kritis, dan kreativitas. Keterampilan komunikasi bermanfaat bagi siswa untuk mengidentifikasi sumber informasi yang akurat, menyaring informasi sebagai pengetahuan baru, dan mengakibatkan informasi sebagai pemanis pengetahuan dalam pengembangan dirinya. Oleh alasannya yaitu itu, keterampilan komunikasi sangat perlu dikuasai oleh siswa. Optimalisasi literasi sanggup menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan keterampilan komunikasi siswa.

Keterampilan komunikasi yaitu keterampilan individu untuk memberikan dan mendapatkan pesan sesuai dengan konteks. Komunikasi membantu siswa untuk mengartikulasi gagasan dan pikiran baik secara lisan, tertulis, atau nonverbal dalam banyak sekali konteks dengan tujuan pendengar sanggup mendapatkan pesan dengan tepat dan efektif (East, 2015). Komunikasi dikatakan tepat apabila siswa bisa memberikan pesan sesuai dengan situasi dan konteks yang tengah dihadapi. Sementara itu, komunikasi dikategorikan efektif jikalau pendengar dengan gampang memahami isi pesan yang disampaikan pembicara(Morreale, Staley, Stavrositu, & Krakowiak, 2014 hlm. 108). Terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan oleh siswa untuk mencapai komunikasi yang tepat dan efektif. Ketiga komponen ini terdiri dari motivasi, pengetahuan, dan kompetensi (Lederman, 2012).

Komponen terkait yang dibutuhkan biar komunikasi berjalan dengan tepat dan efektif yaitu kompetensi. Kompetensi dibutuhkan untuk membantu siswa dalam pengendalian emosi dan tingkah laris ketika berkomunikasi. Siswa yang belum terlatih kompetensinya, ia akan menemukan kesulitan berkomunikasi (Wodd & Hartshorne, 2017). Kesulitan yang kerap ditemukan dalam komunikasi yaitu rendahnya rasa percaya diri sehingga cukup mengganggu kelancaran komunikasi. Siswa akan berbicara tersendat dan berdampak pada kurang jelasnya pesan yang disampaikan. Selain itu, kompetensi yang dibutuhkan dalam keterampilan komunikasi pada kurun 21 yaitu kompetensi penggunaan teknologi dan informasi. Abad 21 merupakan kurun yang sarat dengan teknologi atau masyarakat melabeli kurun ini dengan era digital. Hampir sebagian besar acara pembelajaran memanfaatkan kiprah teknologi dan informasi. Melalui teknologi, siswa lebih gampang mencari informasi untuk menambah literatur dalam pembelajaran dan mendukung kelancaran keterampilan komunikasi (Jackson, 2014 hlm. 223). Pada kurun 21 siswa sudah mahir memanfaatkan teknologi akan tetapi pemanfaatannyamasih kurang optimal. Hal ini disebabkan siswa lebih banyak memakai teknologi untuk acara sosial yang kurang bermakna. Selain penguasaan keterampilan berbahasa, pada dikala ini siswa perlu mahir mendayagukanan teknologi untuk menunjang keterampilan komunikasinya (Kuznekoff & Titsworth, 2013). Teknologi dijadikan wadah untuk menyalurkan kreativitas atau mengomunikasikan pesan postif bagi siswa pribadi, bagi peserta didik, maupun bagi masyarakat.

Siswa dikategorikan mempunyai keterampilan komunikasi yang baik apabila ia bisa memahami informasi yang diterima dari banyak sekali sumber dan sanggup menginferensi tersebut untuk dipahami oleh akseptor pesan. Tingginya keterampilan komunikasi siswa tidak terlepas dari kiprah literasi. Jenis literasi yang berkontribusi cukup besar terhadap keterampilan komunikasi terdiri dari literasi bahasa dan literasi informasi. Keterampilan komunikasi tidak lepas dari keterampilan berbicara dan keterampilan menyimak yang merupakan potongan dari literasi bahasa. Sementara itu, literasi informasi bermanfaat bagi individu untuk menyeleksi informasi yang tepat untuk dijadikan topik berkomunikasi.

Literasi bahasa dan literasi informasi sangat penting dikuasai siswa lantaran pada kurun 21 mereka dituntut untuk mahir berkomunikasi. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Purvis, Mc Neill, & Sutherland (2014) yang menunjukan bahwa salah satu upaya untuk mengurangi kesulitan siswa berkomunikasi yaitu dengan mengembangkan literasi pada siswa. Minat siswa terhadap kegiatan berbicara akademik dan membaca siswa dikategorikan rendah. Minat siswa yang rendah disebabkan siswa lebih gampang terbawa arus informasi global. Siswa dikala ini gampang memercayai informasi yang ada di dunia maya tanpa mengecek sumber atau kebenaran dari informasi tersebut. Siswa malas menemukan informasi yang berasal dari sumber terpercaya dan menyukaipencarian situs informasi yang ditemukan lebih praktis. Meskipun perolehan informasi dikala ini lebih mudah akan tetapi sangat disayangkan siswa kurang peka terhadap dapat dipercaya sumber informasi. Oleh alasannya yaitu itu, literasi teknologi informasi juga dibutuhkan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi siswa.

Literasi bahasa berfokus pada pengembangan keterampilan dasar individu untuk memahami dan memakai keterampilan berbahasa menyerupai keterampilan berbicara dan membaca sebagai potongan yang integral. Literasi bahasa penting untuk dikuasai siswa lantaran bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi, mengekspresikan perasaan, dan memahami suatu gagasan. Keterampilan bahasa mempunyai korelasi yang saling terkait satu sama lain menyerupai keterampilan berbicara berkaitan dengan keterampilan menyimak sedangkan keterampilan membaca berkaitan dengan keterampilan menulis. Keterampilan berbicara dan menyimak menjadi komponen penting untuk mencapai keterampilan komunikasi yang tepat dan efektif (Natalle & Crowe, 2013 hlm. 97).

Pembicara dan pendengar mempunyai kiprah yang saling bergantian dalam suatu proses komunikasi. Pembicara tidak mutlak sebagai pengirim pesan tetapi ada kalanya ia berposisi sebagai penyimak lantaran komunikasi akan efektif bila pembicara memberi kesempatan pada pendengar untuk menanggapi. Sebaliknya, pendengar sanggup menjadi seorang pembicara sebagai bentuk respons atas materi yang disampaikan oleh pembicara. Adanya korelasi timbal balik antara pembicara dan pendengar yang mengakibatkan komunikasi berjalan dengan efektif. Keterampilan menyimak berperan sebagai pengantar pesan dari otak untuk memilih respons atau jawaban terhadap pesan yang diterima (Harris & Hua, 2015 hlm. 183). Menyimak berfungsi untuk menyeleksi dan memilih informasi sehingga individu sanggup menetapkan langkah yang ditentukan terhadap informasi yang diserap. Melalui menyimak, individu sanggup membedakan kategori pesan apakah pesan tersebut dikategorikan sebagai pengetahuan baru, nilai moral, perintah, atau suatu larangan.

Komunikasi meliputi komunikasi formal dan informal. Sebagian besar siswa mempunyai kendala ketika harus menghadapi komunikasi formal. Komunikasi formal biasanya dilakukan dalam konteks ilmiah menyerupai ketika melaksanakan diskusi panel, seminar, atau presentasi materi kuliah. Sementara itu, komunikasi informal lebih dikenal dengan sebutan mutual conversation artinya komunikasi ini dilakukan dalam percakapan sehari-hari dengan suasana lebih santai. Hambatan yang kerap menjadi duduk kasus komunikasi formal yaitu terkait dengan rendahnya kepercayaan diri siswa dan minimnya informasi yang dimiliki untuk memberikan topik diskusi (Purvis, Mc Neill, & Sutherland, 2014). Keterampilan berbicara perlu dilatih secara terus menerus dan sebagai salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan berbicara yaitu mengajak siswa untuk terlibat dalam diskusi dengan memberi pendapat berdasarkan hebat atau informasi dari sumber yang kredibel. Dosen selaku pembimbing perlu mengoptimalisasi keterampilan berbicara dan membaca pemahaman siswa untuk menguasai literasi bahasa. Siswa sudah sewajarnya menguasai literasi bahasa dikarenakan telah melaksanakan proses pembelajaran cukup usang (Morreale, Staley, Stavrositu, & Krakowiak, 2014). Namun, hal yang disayangkan tidak semua jenjang pendidikan memberi banyak kesempatan kepada siswa untuk menguasai literasi bahasa padahal bahasa yaitu objek yang pertama kalidikenalkan pada insan semenjak awal kelahiran. Keterampilan berbicara yang akuntabel merupakan kunci dari efektifnya suatu komunikasi. Siswa sangat perlu dibiasakan untuk berkomunikasi formal lantaran mereka akan menghadapi dunia sosial yang sarat akan keahlian komunikasi. Minimnya pengetahuan siswa menjadi pemicu rendahnya kepercayaan diri siswa ketika berkomunikasi. Oleh alasannya yaitu itu, siswa perlu membiasakan diri untuk banyak membaca. Dosen perlu menugaskan siswa untuk meringkas isi bacaan dan melaporkan hasil ringkasan secara oral. Siswa yang menguasai materi berdasarkan hasil pemikiran dan ringkasan secara pribadi akan lebih percaya diri untuk berbicara dalam konteks formal daripada siswa yang tidak menguasai materi (Verma, 2013 hlm. 4).

Beberapa taktik sanggup dilakukan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi dalam aspek literasi berbahasa siswa di antaranya melalui presentasi di kelas, melaksanakan simulasi pembaca isu atau wawancara, melaksanakan diskusi kecil maupun diskusi panel, atau mengimplementasikan model problem based learning. Namun, faktor yang paling memengaruhi penguasaan keterampilan komunikasi siswa yaitu dosen dan rekan sejawat. Dosen perlu mengajarkan siswa cara mengapresiasi teman yang telah memperlihatkan kemampuannya di khalayak umum. Bentuk apresiasi siswa sanggup berupa tepuk tangan, kebanggaan sederhana, atau komentar positif yang sanggup membangun motivasi siswa untuk terus meningkatkan keterampilan komunikasinya (Kaburise, 2016 hlm. 96). Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Harris & Hua (2015) yang menunjukan bahwa apresiasi dari akseptor pesan besar lengan berkuasa positif terhadap keterampilan komunikasi siswa. Adanya penghargaan yang bersifat membangun sangat dibutuhkan siswa lantaran mereka merasa hal yang disampaikan diapresiasi oleh akseptor pesan.

Literasi Digital. Literasi digital yaitu kemampuan individu untuk memanfaatkan media digital secara bijak dan optimal. Dewasa ini, media digital sudah memengaruhi kehidupan kaum muda. Hadirnya media digital memberi dampak positif dandampak negatif. Dalam dunia pendidikan tinggi, adanya media digital memfasilitasi siswa untuk mencari literatur sebagai pendukung pencapaian akademiknya atau penunjang kiprah akhir. Media digital juga menjadi wadah bagi mahasiwa untuk saling menyebarkan kreativitas yang terkait dengan dunia pendidikan (Guo, 2014 hlm. 5). Terkait dengan keterampilan komunikasi, media digital sangat menunjang keterampilan komunikasi siswa. Siswa sanggup memakai media digital sebagai alat bantu ketika presentasi, menambah kajian topik diskusi, ataumencari informasi pendukung untuk menuntaskan permasalahan pendidikan (Greter & Yadav, 2016 hlm. 511). Media digital sudah sewajarnya memudahkan siswa untuk meningkatkan keterampilan komunikasinya. Namun, hal yang terjadi yaitu media digital dikala ini mengakibatkan siswa lebih pasif berkomunikasi. Siswa lebih fokus untuk memainkan ponsel dan membaca isu-isu negatif yang marak disebarkan di media sosial. Adanya isu negatif lebih banyak memengaruhi pola pikir siswa sehingga pada dikala ini lebih banyak dijumpai siswa yang apatis. Mereka bisa berkomentar di media umum akan tetapi tidak bisa melaksanakan komunikasi secara oral (Morreale, Staley, Stavrositu, & Krakowiak, 2014 hlm. 125). Hal ini mengindikasikan bahwa seiring majunya media digital mengakibatkan siswa semakin rendah keterampilan komunikasinya. Oleh alasannya yaitu itu, siswa perlu mempunyai kemampuan untuk memakai media digital secara bijak (Rasmusson, Maria, & Eklund, 2013). Siswa sanggup memanfaatkan media digital untuk latihan berkomunikasi dalam lembaga diskusi kecil. Melalui media digital, siswa sanggup mendiskusikan topik terkini yang dikemas dengan gaya menarik serta sesuai dengan abjad masyarakat dikala ini.

Melalui literasi digital siswa sanggup membedakan cara berkomunikasi yang tepat dan ideal dengan memakai teknologi. Siswa perlu membedakan cara berkomunikasi dengan pembimbing melalui teknologi atau ketika sedang bertatap muka. Siswa juga perlu memperkirakan ketepatan penggunaan teknologi untuk komunikasi. Hal ini sudah sepantasnya menjadi kendali dalam diri siswa biar mereka mempunyai keterampilan komunikasi yang baik. Literasi digital dibutuhkan untuk menghindari resiko akhir adanya penyalahgunaan teknologi di kalangan siswa (Pew Research Internet Project, 2012). Literasi digital perlu menjadi potongan dalam diri siswa lantaran mereka merupakan calon penerus bangsa. Literasi digital membantu siswa untuk mengendalikan diri dan lebih bijak ketika berkomunikasi melalui teknologi atau secara langsung.
3. Collaboration/kolaboratif merupakan keterampilan berhubungan dalam kelompok. Bertanggung jawab atas kiprah yang diperoleh dari kelompok, Menghargai ide/gagasan yang disampaikan oleh orang lain baik secara lisan, tertulis, maupun memakai media digital. Cruickshank, Jenkins, & Metcalf (2006) mengidentifikasi kondisi-kondisi terjadinya kolaboratif, setiap individu anggota kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap kelompoknya, setiap anggota harus setia pada kiprah kelompok, setiap anggota tergantung satu sama lainnya. Biemiller (1993) menyatakan bahwa pengaturan pembelajaran yang mendorong para pebelajar memperlihatkan pemberian kepada yang lain dan pihak lain menerimanya memungkinkan untuk meningkatkan adanya saling ketergantungan.

4. Creative thinking skill (kreativitas) merupakan proses dalam memahami sebuah masalah, mencari solusi-solusi yang mungkin, menarik hipotesis, menguji dan mengevaluasi, serta mengkomunikasikan karenanya kepada orang lain Torrance (1969). Kreativitas merupakan acara menemukan ide/gagasan kreatif untuk menghasilkan suatu produk, mengembangkan ide/gagasan kreatif untuk menghasilkan suatu produk, merancang ide/gagasan secara kreatif untuk menghasilkan suatu produk, memproduksi dan mengimplementasikan produk yang telah diproduksi secara luas dan mengevaluasi hasil kegiatan implementasi yang telah dilaksanakan untuk disempurnakan (Afandi dan Sajidan, 2017). Proses hasil kreativitas meliputi pandangan gres orisinil, cara pandang berbeda, memecahkan masalah, mengkombinasikan kembali gagasan-gagasan atau melihat korelasi gres di antara gagasan-gagasan tersebut. Kreativitas merupakan potongan dari proses berpikir secara divergen yang meliputi aspek fluency, flexibility, elaboration, dan originality (Torrance & Safter,1990). Kreativitas menghasilkan daya cipta tinggi dan tepat jikalau diterapkan untuk memperoleh solusi (Ulger, 2016; Lemon, 2011). Kreativitas merupakan proses berpikir secara metakognitif melalui empat tahapan yaitu: (1) persiapan (mendefinisikan permasalahan), (2) inkubasi atau perenungan (menganalisis permasalahan dalam beberapa waktu), (3) illuminasi (tahap mendapatkan pandangan gres atau pemikiran baru), (4) verifikasi (tahap mengaplikasikan pandangan gres yang ditemukan). (Bourgeois-Bougrine dkk, 2017).

C. Karakteristik Pembelajaran SMK
Perkembangan zaman menuntut pembinaan sumber daya insan yang berkualitas. Daya saing Indonesia dalam menghadapi persaingan antar negara maupun perdagangan bebas sangat ditentukan oleh outcome dari pembinaan SDM-nya. Salah satu upaya negara dalam pemenuhan SDM level menengah yang berkualitas yaitu pembinaan pendidikan kejuruan. Rumusan arti pendidikan kejuruan sangat bervariasi. Menurut Rupert Evans (1978), pendidikan kejuruan yaitu potongan dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang biar lebih bisa bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lainnya. Menurut klarifikasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 15, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan kejuruan terdiri dari Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan. Karakteristik Pendidikan Kejuruan (Djojonegoro, 1998) yaitu sebagai berikut: 1) pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja, 2) pendidikan kejuruan didasarkan atas “demand-driven” (kebutuhan dunia kerja), 3) fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, perilaku dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja, 4) penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa harus pada “hands-on” atau performa dalam dunia kerja, 5) korelasi yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan kejuruan, 6) pendidikan kejuruan yang baik yaitu responsif dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi, 7) pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada “learning by doing” dan “hands-on experience”, 8) pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktik , 9) pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar daripada pendidikan umum.

Prinsip-prinsip Pendidikan Kejuruan berdasarkan Charles Prosser (1925) yaitu sebagai berikut: 1) pendidikan kejuruan akan efisien jikalau lingkungan di mana siswa dilatih merupakan replika lingkungan di mana nanti siswa bekerja, 2) pendidikan kejuruan akan efektif hanya sanggup diberikan di mana tugas- kiprah latihan dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang sama menyerupai yang diterapkan di tempat kerja, 3) Pendidikan kejuruan akan efektif jikalau beliau melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja menyerupai yang dibutuhkan dalam pekerjaan itu sendiri, 4) Pendidikan kejuruan akan efektif jikalau beliau sanggup memampukan setiap individu memodali minatnya, pengetahuannya, dan keterampilannya pada tingkat yang paling tinggi, 5) pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan, atau pekerjaan hanya sanggup diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya, dan yang sanggup untung darinya, 6) pendidikan kejuruan akan efektif jikalau pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas menyerupai yang dibutuhkan dalam pekerjaan nantiny, 7) pendidikan kejuruan akan efektif jikalau gurunya telah mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan dilakukan, 8) pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang biar tetap sanggup bekerja pada jabatan tersebut, 9) pendidikan kejuruan harus memperhatikan usul pasar (memperhatikan gejala pasar kerja), 10) proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jikalau training diberikan pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai), 11) sumber yang sanggup diandalkan untuk mengetahui isi training pada suatu okupasi tertentu yaitu dari pengalaman para hebat pada okupasi tersebut, 12) setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, 13) pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jikalau sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memang mememrlukan dan memang paling efektif jikalau dilakukan lewat pengajaran kejuruan, 14) pendidikan kejuruan akan efisien jikalau metode pengajaran yang digunakan dan korelasi pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut, 15) manajemen pendidikan kejuruan akan efisien jikalau beliau luwes dan mengalir daripada kaku dan terstandar, 16) pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jikalau tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan dilarang dipaksakan beroperasi.

BAB III PEMBELAJARAN ABAD 21 DI SMK
Kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan konsep utama membuat ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi, merupakan salah satu tantangan sekaligus menjadi peluang bagi Indonesia. Kunci utama untuk mengakibatkan peluang menjadi suatu laba yaitu mempersiapkan sumber daya insan yang mempunyai daya saing secara global. Kesiapan tersebut diukur dari kompetensi yang dimiliki masyarakat Indonesia untuk bisa bersaing di era revolusi industri 4.0 dengan segala teknologi desruptif yang menyertainya, baik kompetensi yang bersifat hard skill dan soft skill.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai lembaga pendidikan menengah yang mencetak lulusan siap kerja, tentunya mempunyai tanggung jawab yang besar untuk membekali siswa sehingga mempunyai daya saing dalam menghadapi era MEA dan mengantisipasi datangnya gelombang revolusi industri 4.0. Upaya pemerintah menempatkan Sekolah Menengah kejuruan pada tempat yang penting untuk bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja terdidik/terampil yang kompeten pada bidangnya telah dilakukan melalui acara Revitalisasi Sekolah Menengah kejuruan yang diharapkan bisa memperlihatkan dampak positif terhadap peningkatan mutu SMK.

Inovasi dalam pembelajaran merupakan salah satu dari enam isu strategis yang menjadi prioritas revitalisasi SMK, disamping revitalisasi kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, kerjasama, tata kelola kelembagaan. Inovasi dalam pembelajaran diharapkan bisa mengoptimalkan proses pembelajaran termasuk sistem penilainnya, yang ditandai dengan peningkatan kualitas lulusan Sekolah Menengah kejuruan yang mempunyai kompetensi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di era revolusi industri 4.0.

Untuk menjawab tuntutan kompetensi di era revolusi industri 4.0, pembelajaran kurun 21 sanggup menjadi pilihan untuk diimplentasikan dalam penemuan pembelajaran di SMK. Pembelajaran kurun 21 merupakan pembelajaran yang mempersiapkan generasi kurun 21 dimana kemajuan teknologi yang berkembangbegitu cepat mempunyai efek terhadap banyak sekali aspek kehidupan termasuk pada proses berguru mengajar. Pembelajaran kurun 21 mempunyai karakteristik 4C, yaitu: Communication, Collaboration, Critical Thinking and Problem solving, Creativity and Innovation. Dukungan kurikulum terupdate, tenaga pendidik yang hebat, sarana dan prasarana yang memadai, serta tata kelola sekolah yang baik menjadi kunci keberhasilan implementasi pembelajaran kurun 21.

Berkaitan dengan penemuan pembelajaran kurun 21 di Sekolah Menengah kejuruan untuk meningkatkan kualitas lulusan Sekolah Menengah kejuruan yang mempunyai kompetensi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di era revolusi industri 4.0, aspek penting yang menjadi fokus goresan pena ini adalah:
  1. Alisis profil kecakapan kurun 21 yang dibutuhkan lulusan Sekolah Menengah kejuruan dalam menghadapai tantangan era revolusi industri 4.0;
  2. Alisis penemuan pembelajaran dari banyak sekali Sekolah Menengah kejuruan acuan sebagai implementasi dari pembelajaran kurun 21;
  3. Analisis profil faktor pendukung yang spesifik untuk penyelarasan kompetensi yang dibutuhkan dalam pembelajaran kurun 21, yaitu: kurikulum, kompetensi guru, sarana prasarana, dan tata kelola kelembagaan;
  4. Strategi untuk optimalisasi proses pembelajaran dan penilian di Sekolah Menengah kejuruan yang mengacu pada pembelajaran kurun 21.

A. Profil Pembelajaran kurun 21 di SMK
Hasil kajian Sajidan dkk (2018) wacana implementasi dan analisis kebutuhan untuk optimalnya pembelajaran kurun 21 di 29 Sekolah Menengah kejuruan yang tersebar di 8 provinsi, yaitu : Batam, DIY, DKI, Jateng, Jatim, Kaltim, Sulsel, dan Sumsel. Hasil agregasi wacana profil Sekolah Menengah kejuruan terkait pembelajaran kurun 21 disajikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan.

1. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan
Standar isi merupakan ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria wacana kompetensi lulusan, materi kajian, mata pelajaran, dan silabus pembelajaran. Untuk sanggup menjawab tantangan global di era revolusi industri 4.0, lulusan Sekolah Menengah kejuruan harus mempunyai nilai PLUS. Korelasinya muatan kurikulum juga harusnya mempunyai nilai PLUS, khususnya mengakomodasi kecakapan kurun 21.

Muatan isi kurikulum sebagian besar Sekolah Menengah kejuruan untuk mengakomodasi kecakapan kurun 21 masih dalam kategori standar dengan perkiraan bahwa:
a. Keterampilan yang dikembangkan oleh sebagian besar Sekolah Menengah kejuruan masih sesuai standar nasional, akan tetapi beberapa Sekolah Menengah kejuruan telah mempunyai nilai plus dalam mengakomodasi kecakapan kurun 21, contohnya Creativity and Innovation dengan mengakomodasi kearifan lokal dan kebutuhan pasar kerja.
b. Kepemimpinan lebih banyak terakomodasi pada organisasi siswa maupun kegiatan ekskul (Pramuka, pecinta alam, paskibraka, dll), beberapa Sekolah Menengah kejuruan sudah mengintegrasikan jiwa kepemimpinan dalam setiap mata pelajaran dengan memperlihatkan tanggung jawab yang terstruktur.
c. Jiwa kewirausahaan diakomodasi sebagian besar Sekolah Menengah kejuruan dengan membentuk kelas industri untuk masing-masing bidang keahlian. Beberapa Sekolah Menengah kejuruan sudah merumuskan muatan kurikulum untuk memotivasi jiwa kewirausahaan siswa yang terintegrasi pada setiap mapel.
d. Bahasa gila (khususnya bahasa inggris), belum menjadi prioritas sebagian besar Sekolah Menengah kejuruan sehingga hanya merumuskan muatan standar mapel bahasa inggris. Beberapa Sekolah Menengah kejuruan sudah membuat modifikasi muatan mapel bahasa inggris dengan merumuskan english for vacation. Selain itu kebijakan bilingual untuk beberapa mapel juga sangat membantu meningkatkan penguasaan bahasa inggris siswa.
e. Semua Sekolah Menengah kejuruan sudah bermitra dengan DUDI, akan tetapi Keterlibatan DUDI sebagian besar dalam kaitan dengan prakerin maupun penenpatan tenaga kerja. Sementara hanya beberapa Sekolah Menengah kejuruan yang benar-benar melibatkan DUDI dalam perumusan muatan kurikulum.

2. Standar Proses dan Standar Penilaian
Standar proses yaitu standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Pada standar ini, bagaimana guru mempersiapkan, melaksanakan, dan melaksanakan penilaian pembelajaran, sehingga proses pembelajaran sanggup berjalan dengan optimal.
Penyusunan RPP di Sekolah Menengah kejuruan tempat kajian masih dalam kategori standar. Beberapa sekolah mempunyai nilai lebih dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran. Hasil analisis pada RPP sebagai berikut:
a. Hampir Semua guru di sekolah sampel telah membuat RPP untuk optimalnya pembelajaran, ironisnya teknik pembuatan masih bersifat individu. Hanya sebagian kecil yang mendisain RPP secara kolaboratif (mapel atau bidang keahlian) dan berkolaborasi dengan DUDI.
b. Belum optimalnya keberadaan MGMP sebagai wadah “kelompok guru mapel atau bidang keahlian”, sehingga update RPP yang semestinya secara periodik belum terlaksanana dengan baik.
c. Kepala Sekolah sebagian besar Sekolah Menengah kejuruan sudah melaksanakan supervisi wacana keberadaan RPP masing-masing guru. Akan tetapi masih sebatas tersedianya dokumen, belum hingga pada supervise yang terkait dengan substansi maupun teknik perumusannya RPP.
d. Sebagian besar RPP yang dibentuk sudah menerapkan pembelajaran kurun 21 dengan menerapkan 4C, akan tetapi masih normatif belum tergambar spesifik nilai plus dari penerapan 4C, contohnya tentang: Critical Thinking and Problem Solving , Creativity and Innovation.
Pelaksanaan pembelajaran di sebagian sekolah sampel telah menerapkan pembelajaran kurun 21. Berikut merupakan hasil analisis pada pelaksanaan pembelajaran untuk sekolah sampel yang dinarasikan secara garis besar.
a. Pelaksananaan pembelajaran sudah mengimplementasikan pembelajaran inovatif dan interaktif dengan memanfaatkan teknologi informasi dan melalui banyak sekali media dan sumber belajar. Sayangnya, media dan sumber berguru kurang ter-update sesuai kebutuhan pasar kerja di era revolusi industri 4.0.
b. Belum optimalnya pemanfaatan lingkungan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran masih mayoritas di sekolah dengan media atau sarpras yang sebagian kurang sesuai dengan kondisi di DUDI.
c. Belum optimalnya team teaching dalam pelaksanaan pembelajaran, khususnya dalam mengoptimalkan keterlibatan DUDI dalam proses pembelajaran.
d. Pelaksanaan pembelajaran sudah mengimplementasi- kan pembelajaran kurun 21, akan tetapi masih normatif belum tergambar spesifik nilai plus dari penerapan 4C, contohnya :
1) Communication
Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dalam proses berguru mengajar, sehingga siswa sanggup mengkonstruk pengetahuannya sendiri melalui komunikasi dan pengalaman yang beliau alami.
2) Collaboration
Pada proses pembelajaran guru hendaknya merancang situasi dimana siswa sanggup berguru secara team work, sehingga akan tercipta suasana demokratis, dan siswa akan berguru wacana kerjasama tim, kepemimpinan, ketaatan pada otoritas, dan fleksibelitas dalam lingkungan kerja.
3) Critical Thinking and Problem Solving
Proses pembelajaran hendaknya membuat siswa sanggup berpikir kritis dengan permasalahan pada level HOTS dan menghubungkan pembelajaran dengan masalah-masalah konstektual yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kedekatan dengan situasi yang real yang dialami oleh siswa ini akan membuat siswa menyadari pentingnya pembelajaran tersebut sehingga siswa akan memakai kemampuan yang diperolehnya untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya.
4) Creativity and Innovation
Dalam proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi fasilitator dan membuka ruang bagi siswa untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya. Peran guru hanya sebagai fasilitator sanggup diawali dengan membuka pandangan gres untuk krestifitas penemuan berbasis kearifan lokal dan kebutuhan pasar kerja.

Sekolah sampel telah mengimplementasikan pembelajaran kurun 21. penilaian pembelajaran secara garis besar sebagai berikut:
a. Sebagian guru sudah mengembangkan instrumen penilaian yang sesuai dengan pembelajaran kurun 21, yaitu : AFL dan HOTS.
b. Pembuatan instrumen penilain dilakukan oleh individu atau kelompok mapel, tetapi kurang mengoptimalkan keterlibatan DUDI.
c. Kepala Sekolah sebagian besar Sekolah Menengah kejuruan sudah melaksanakan supervisi wacana penilaian setiap mapel. Akan tetapi masih sebatas tersedianya instrumen, belum hingga monitoring mengenai substansi maupun stratetegi pengembangan instrument.
d. Hasil penilaian lebih banyak didominasi untuk kepentingan melihat ketercapaian kompetensi. Sementara beberapa sekolah sudah membuat kebijakan dalam memanfaatkan hasil penilaian untuk pemetaan dan tindak lanjut pembelajaran.

3. Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar pendidik dan tenaga kependidikan yaitu kriteria ketercukupan maupun kelayakan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai biro pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Secara kuantitas bahwasanya jumlah guru Sekolah Menengah kejuruan cukup memadai untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan optimal, kecuali beberapa kawasan memang masih kekurangan guru produktif. Pemasalahan yang muncul justru mengenai faktor kualitas/profesionalisme guru SMK.

Optimalisasi pelaksanaan pembelajaran kurun 21 di SMK, dibutuhkan guru profesional PLUS. Nilai plus untuk guru profesional dicapai ketika guru mempunyai kompetensi umum seorang guru yang meliputi kompetensi : pedagogik, kepribadian, profesional,dan sosial, ditambah beberapa kompetensi plus yang perlu dimiliki oleh guru Sekolah Menengah kejuruan dalam menunjang optimalnya pembelajaran kurun 21, yaitu: life-long learner, kreatif dan inovatif, mengoptimalkan teknologi, reflektif, kolaboratif, menerapkan student centered, dan menerapkan pendekatan diferensiasi.

Kompetensi plus lainnya untuk menunjang optimalnya pembelajaran kurun 21, sebagaimana diungkapan oleh Gottfried Leibbrandt (1999) antara lain:
a. Menguasai bahasa gila (misalnya, bahasa inggris).
b. Memiliki kemampuan menajemen berdasar enterpreuneurship (wirausaha).
c. Memiliki kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide secara terperinci dan ringkas, baik dalam bentuk mulut maupun tulisan.
d. Memilki kemampuan dalam memakai atau mengakses “Information Technology System”.
e. Mempunyai pengalaman sukses (khususnya guru produktif) dalam penerapan pengetahuan dan keterampilan.

Sebagian besar guru Sekolah Menengah kejuruan masih dalam kategori standar untuk kecakapan dalam menunjang pelaksanaan pembelajaran kurun 21. Karakter kecakapan kurun 21 untuk sebagian besar guru Sekolah Menengah kejuruan masih perlu ditingkatkan, khususnya dalam meng- upgradeterus pengetahuan dan keterampilannya.

Sementara itu penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa inggris guru Sekolah Menengah kejuruan belum sesuai yang diharapkan. Guru masih belum terbiasa melaksanaan pembelajaran dengan bilingual, apalagi hingga membuat materi latih maupun media pmbelajaran dengan bilingual. Sedangkan keterampilan pedadogik sebagai keterampilan fundamental yang harus dipahami guru Sekolah Menengah kejuruan dalam proses pembelajaran juga masih dalam kategori standar.

Penguasaan IT guru Sekolah Menengah kejuruan dalam menunjang pembelajaran kurun 21 sebagian sudah mempunyai nilai plus, dimana mereka meng-upgrade terus pengetahuan dan keterampilannya dalam bidang IT sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Selain itu, belum optimalnya pengalaman sukses guru (khususnya guru produktif) dalam penerapan pengetahuan dan keterampilan.

    Download Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK

    Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Sekolah Menengah kejuruan ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:

    Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK



    Download File:

    Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK.pdf


    Sumber: http://psmk.kemdikbud.go.id

    Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Buku Sekolah Menengah kejuruan - Peningkatan Proses Pembelajaran dan Penilaian Pembelajaran Abad 21 dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran SMK. Semoga bisa bermanfaat.

    Artikel Terkait

    Belum ada Komentar untuk "Peningkatan Proses Pembelajaran Dan Evaluasi Pembelajaran Era 21 Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Smk"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel